Secara umum, literasi dapat diartikan sebagai keberaksaraan, yaitu kemampuan seseorang membaca dan menulis. Seseorang dikatakan literate apabila ia memiliki pengetahuan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat. Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan menulis dapat dimanfaatkan bagi diri sendiri dan kemajuan bangsa.
Budaya Literasi
Budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca-menulis yang pada akhirnya akan mengarah kepada cara berpikir kritis, cara pemecahan masalah, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penciptaan suatu karya.
Sesuai dengan arti budaya yaitu hal-hal yang berkaitan dengan akal dan cara hidup manusia yang selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu, maka budaya literasi dapat tumbuh karena di dalam kegiatan pembelajaran siswa diajak untuk menulis apa yang ia lihat, dengar, dan pikirkan sehingga muncul ide-ide yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bentuk literasi yang lebih tinggi.
Untuk membantu pengembangan literasi, ada tiga komponen yang beraksi secara dinamis dan berkelanjutan, yaitu motivasi, pembelajaran membaca-menulis, dan membaca-menulis mandiri. Tanpa adanya motivasi, pembelajaran membaca-menulis dan membaca-menulis mandiri terasa tidak berjiwa karena tidak ada pendorong atau penyemangat seseorang dalam mengembangkan literasinya. Begitu pula, tanpa pembelajaran membaca-menulis, motivasi dan membaca-menulis mandiri tidak akan terarah dengan baik
Literasi di Sekolah
Sekolah pada dasarnya merupakan tempat individu menuntut ilmu dalam ranah formal. Oleh karena itu, proses Literasi melalui aktivitas belajar-mengajar sesungguhnya telah terjadi di Sekolah. Tumbuhnya budi pekerti dalam diri siswa di sekolah dapat terjadi jika mereka mendapat teladan dari berbagai sumber yang bisa menjadi idolanya. Idola yang akan mereka teladani itu bisa guru/tenaga pendidik/orang dewasa yang ada di sekitar mereka. Idola atau tokoh yang mereka teladani itu juga bisa berupa tokoh di dalam cerita rakyat.
Siswa atau anak-anak yang telah mengikuti gerakan literasi melalui pembiasaan membaca buku bacaan selain bahan pelajaran selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai juga dapat menjadi teladan dan idola bagi siswa dan anak-anak lainnya. Siswa dan anak-anak yang menjadi idola atau teladan tersebut adalah siswa dan anak-anak yang berada di dalam lingkungan yang positif dan terliterasi. Sekolah Literasi diharapkan menjadi tempat positif yang menciptakan generasi penerus yang berbudi pekerti luhur.
Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan kerja sama beberapa pihak, seperti kepala sekolah, guru, siswa bahkan orang tua. Alokasi waktu untuk membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai disosialisasikan oleh kepala sekolah. Sosialisasi tidak hanya kepada guru dan siswa, tetapi juga kepada orang tua siswa. Pada pelaksanaannya, guru bertindak sebagai pendamping dan pengarah siswa, sedangkan orang tua sebagai pendukung dan penggeraknya.
Literasi di Masyarakat
Sebagaimana di sekolah, tumbuhnya budi pekerti dalam diri anak-anak di komunitas baca juga dapat terjadi jika mereka mendapat teladan dari berbagai sumber yang bisa menjadi idola bagi mereka. Tenaga pendidik, orang dewasa yang ada di sekitar mereka, atau tokoh di dalam cerita rakyat dibangun menjadi idola mereka melalui kegiatan ini
Anak-anak yang telah mengikuti gerakan literasi ini akan menjadi contoh bagi anak-anak lainnya. Mereka diharapkan dapat menularkan hal-hal positif yang diperolehnya dari proses literasi tersebut kepada anakanak lain di sekitarnya. Untuk itu, perlu peran aktif berbagai pihak, seperti tokoh/pejabat setempat, pegiat atau aktivis kelompok baca, dan anak-anak anggota kelompok baca, serta orang tua mereka.
Tokoh atau pejabat berwenang setempat menyosialisasikan kegiatan literasi ini dan aktivis kelompok baca mendampingi anak-anak anggota kelompoknya untuk menjalani proses literasi ini. Sementara itu, orang tua atau keluarga dari anak-anak tersebut mendukungnya.
Budaya Literasi di Sekolah dan Masyarakat